SAMBUNGAN BAGIAN - 1
Pengantar redaksi: tulisan ini didasarkan atas hasil visum atas para pahlawan revolusi. Penulis sempat mengunjungi dr. Lim Joey Thay, salah satu anggota tim dokter yang melakukan visum itu di tahun 1965 yang masih hidup. Tulisan ini dibagi dalam dua bagian. Tulisan ini adalah bagian 2 dari 2 tulisan.
Begitulah. Sejarah, kata sementara orang, adalah catatan para pemenang. Dus arti sebaliknya adalah: orang yang kalah tak punya hak untuk ikut menuliskan sejarah. Di bawah rezim otoriter, pemerintah pusat adalah satu-satunya pihak yang punya hak untuk menentukan mana yang dapat disebut sebagai fakta sejarah dan mana yang tidak. Dengan menggunakan stabilitas politik sebagai dalih pembangunan nasional, pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka tentang konstruksi sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa G30S yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu.
Bagi pemerintahan Soeharto, cerita dan sejarah mengenai peristiwa itu datar dan sederhana: ia diotaki oleh PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh Angkatan Darat, serta G30S dinyatakan sebagai gerakan yang berusaha untuk menggantikan Pancasila yang pro-Tuhan dengan komunisme yang anti-Tuhan.
Setahun setelah gelombang pembantaian besar-besaran itu dihentikan, di depan DPRS, 16 Agustus 1967, Soeharto yang sudah menjadi pejabat presiden memberikan justifikasi bagi pembantaian yang disponsori militer dan didukung oleh kelompok-kelompok non-komunis:
“Komunis yang berdasarkan pada dialektika materialisme sesunggunya adalah anti-Tuhan, sementara Pancasila mengakui Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujarnya. Di sisi lain, dia juga menyerang politik Nasakom Sukarno yang menurut Soeharto mustahil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
***
Bung Karno donder, marah, mendengar kabar dan berita yang mengatakan bahwa para perwira Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa di subuh 1 Oktober 1965 mengalami penyiksaan mahahebat sebelum nyawa mereka dihabisi. Kabar seperti ini, menurut si Bung, sengaja disebarluaskan untuk membakar emosi rakyat dan mendorong “gontok-gontokan” di kalangan rakyat yang akhirnya menjelma menjadi “sembelih-sembelihan”.
Donder itu terjadi dua kali dalam 24 jam. Pertama saat si Bung berbicara di depan wartawan di Istana Bogor, malam hari, tanggal 12 Desember 1965. Donder kedua, keesokan hari, saat Bung Karno berbicara di depan gubernur se-Indonesia, di Istana Negara.
Kepada para wartawan, cerita Bung Karno di depan para gubernur, dia bertanya darimana media massa mendapat cerita tentang kronologi pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat yang diculik kelompok Untung.
Tak ada seorang wartawan pun yang menjawab. Menteri Penerangan Achmadi, Kepala Dinas Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol Noor Nasution yang mengawasi Antara pun tak bisa mengatakan darimana mereka mendapat kabar itu.
“Saya tidak tahu apakah gubernur-gubernur tadi malam menyetel radio atau televisi. Maka ada baiknya saya ceritakan sedikit pendonderan-pendonderan saya tadi malam. Begini, tatkala sudah terjadi Lubang Buaya, jenazah-jenazah daripada jenderal dibawa kesana dan dimasukkan ke dalam sumur. Ooh, itu wartawan-wartawan suratkabar menulis, bahwa jenderal-jenderal itu disiksa di luar perikemanuiaan. Semua, katanya, maaf, saudari-saudari, semuanya dipotong mereka punya kemaluan.”
“Malahan belakangan juga ada di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita bernama Djamilah, mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu pisau silet, tetapi lebih dahulu 100 anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipergunakan untuk mengiris-ngiris kemaluan. Demikian pula dikatakan, bahwa di antara jenderal-jenderal itu matanya dicungkil.”
Kisah Djamilah yang disebut Bung Karno ini dimuat oleh koran Api Pantjasila, edisi 6 November 1965. Koran ini berafiliasi dengan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesian (IPKI), sebuah partai politik yang didukung tentara. Di tahun 1973, bersama empat partai lain, PNI, Partai Murba, Partai Parkindo, dan Partai Katholik, partai ini difusikan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Dalam laporan Api Pantjasila, Djamilah digambarkan sebagai seorang wanita muda, 15 tahun, yang tengah hamil tiga bulan. Anggota Gerwani ini dikatakan berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Ia mengaku, di Lubang Buaya dinihari itu, dia dan teman-temannya dipersenjatai silet oleh anggota kelompok Gerakan 30 September, dan setelah itu mereka diperintahkan untuk menyayat dan memotong kemaluan para perwira Angkatan Darat yang jadi korban.
Sebelumnya pada edisi 20 Oktober, Api Pantjasila menurunkan laporan yang menyebutkan bahwa kelompok pemuda yang menyerang markas komunis di Harupanggang, di sekitar Garut, Jawa Barat, menemukan alat yang digunakan untuk mencungkil bola mata Ahmad Yani. Sama sekali tidak ada penjelasan bagaimana alat itu, kalau memang benar digunakan untuk mencungkil mata Ahmad Yani, bisa berada di Harupanggang, ratusan kilometer dari Pondok Gede.
Antara edisi 13 Desember 1965 menurunkan berita yang tak kalah sensasionalnya. Menurut Antara, sebelum membantai korban penculikan anggota Gerwani yang telah dipersenjatai silet terlebih dahulu menarikan tarian cabul yang dikenal dengan nama Harum Bunga.
Menurut peneliti dari Universitas Amsterdam, Belanda, Saskia E. Wieringa dalam artikelnya di tahun 2003, pemerintahan Orde Baru secara sistematis menghancurkan moral Gerwani dan lebih dari itu, wanita Indonesia pada umumnya. Cerita kebinalan anggota Gerwani di Lubang Buaya semakin dianggap sebagai kebenaran setelah tokoh agama dan media massa yang berafiliasi dengan kelompok agama ikut angkat bicara.
Sinar Harapan edisi 9 Oktober mengutip pernyataan Dewan Gereja Indonesia yang mengatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin di sebuah negara Pancasila yang mempercayai Tuhan tindakan amoral seperti itu bisa terjadi. Edisi 12 Oktober koran Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di Indonesia dan lawan lawas PKI dalam politik segitiga Nasakom, menurunkan berita yang menggambarkan anggota Gerwani menari sambil telanjang di depan korban yang sudah sekarat dan tewas. Tarian mereka, tulis Duta Masyarakat, mengingatkan pada upacara kaum kanibal masyarakat primitif ratusan tahun lalu.
Sebulan kemudian, Angkatan Bersenjata edisi 3 November menurunkan laporan tentang pengakuan seorang anggota Pemuda Rakyat yang menyaksikan anggota Gerwani berteriak-teriak sambil bernyanyi-nyanyi dan mempermainkan Jenderal Ahmad Yani yang sudah sekarat tak sadarkan diri.
Tidak sampai di situ. Gambaran tentang anggota Gerwani yang binal dan bermoral rendah diabadikan Orde Baru pada relif di bagian bawah monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Bulan Januari 2009 lalu saya menyempatkan diri mengunjungi monumen itu dan mengamati relief tersebut. Tiga orang anggota Gerwani sedang menari sambil tersingkap belahan dada mereka, sementara tak jauh dari mereka seorang korban penculikan yang mungkin sudah dibunuh dimasukkan ke dalam sumur tua Lubang Buaya.
Itulah agaknya sedikit dari banyak berita yang membuat Bung Karno donder. Dan ia masih melanjutkan pendonderannya.
“Saya pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand, Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya gezond verstand, itu saya betwiffelen, ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.”
“Nah, Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan saya itu, bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana? Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.”
***
Pada tubuh Ahmad Yani, misalnya, tim dokter menemukan delapan luka tembak dari arah depan dan dua luka tembak dari arah belakang. Juga ditemukan dua luka tembak yang tembus di bagian perut dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung. Matanya masih utuh walau sudah kempes, begitu juga dengan kemaluannya, masih ada pada tempatnya walau sudah membusuk.
Dokumen visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi ini ditulis dalam format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan “Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia”.
Bagian awal dokumen ini dimulai dengan penjelasan mengenai dasar hukum pembentukan tim dokter untuk mengotopsi mayat ketujuh perwira Angkatan Darat. Disebutkan bahwa tim tersebut dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik tadi, termasuk Lim Joey Thay.
Berikutnya adalah bagian yang menjelaskan waktu dan tempat visum. Tertulis pada bagian ini: “maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada…” diikuti bagian yang menjelaskan jatidiri mayat dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Selesai dengan bagian pengantar ini, barulah tim dokter membeberkan hasil pemeriksaan luar yang mereka lakukan, dan menutupnya dengan kesimpulan dan pernyataan bahwa hasil pemeriksaan itu dituliskan dengan mengingat sumpah jabatan.
Bagian paling akhir dari dokumen ini mengenai autentifikasi keaslian dokumen. Karena dokumen yang kami peroleh ini merupakan “salinan dari salinan” maka ada dua penanda autentifikasi dalam bagian dokumen ini.
Pengesahan pertama bertuliskan “disalin sesuai aslinya” dan ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Dan pengesahan kedua bertuliskan “disalin sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “panitera dalam perkara ex LKU” Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Tidak ditemukan petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
***
Saat mengunjungi dr. Lim Joey Thay di paviliun RS St. Carolus bulan Juni tahun lalu, saya tak menangkap guratan emosi di wajahnya. Ia tampak begitu tenang. Ia mengikuti kami yang mengabadikan gambarnya. Sesekali istrinya datang untuk membenarkan sarung dr. Lim Joey Thay. Atau memberikan minum. Kami juga sempat bertemu dengan dokter yang menangani dr. Lim Joey Thay. Kepada dokter muda ini dr. Lim Joey Thay mencoba menjelaskan keadaannya. Sepintas tidak ada yang mengkhawatirkan. Ia hanya butuh istirahat setelah kelelahan dan terjatuh.
Tetapi Dandhy bercerita kepada saya, saat dia mewawancarai dr. Lim Joey Thay dua tahun lalu. Beberapa kali dr. Lim Joey Thay menitikkan airmata saat berbicara dengan terpatah-patah tentang kebohongan yang disebarkan mengenai kondisi mayat ketujuh Pahlawan Revolusi.
Beberapa hari lalu, Dandhy kembali menulis pesan di inbox Facebook saya. Dia barusan mengunjungi dr. Lim Joey Thay. Kali ini bersama Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Djoko Utomo. Pihak Arsip Nasional kelihatannya ingin memastikan keaslian dokumen visum et repertum itu.
Kepala ANRI merasa perlu bertemu langsung dengan dr. Lim Joey Thay, satu dari dua anggota tim otopsi Pahlawan Revolusi yang tersisa. Dr. Djadja, murid dr. Lim Joey Thay ikut menemani gurunya dalam pertemuan itu.
Menurut Dandhy dalam pesan singkatnya, kondisi terakhir dr. Lim Joey Thay “benar-benar sudah sulit bicara.”
Sumber : jakartabeat.net
Penulis : Teguh Santosa
.
0 komentar:
Post a Comment