Pemberian penghargaan bagi Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, sebagai kota terbaik se-Asia berdasarkan pilihan 25 ribu pembaca majalah Conde Nast Traveler, memberikan konsekuensi berat menata kesemrawutan yang terjadi di kampung seni itu.
"Kita bersyukur dan gembira, Ubud dipilih sebagai kota terbaik se-Asia dengan skor 82,5 mengalahkan Bangkok, Hong Kong, Chiang Mai, dan Kyoto. Tetapi hal itu juga membawa konsekuensi berat untuk menata kondisi yang ada, seperti kesemrawutan yang terjadi di mana-mana," kata Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati di Puri Ubud, Sabtu (30/1) malam.
"Kita bersyukur dan gembira, Ubud dipilih sebagai kota terbaik se-Asia dengan skor 82,5 mengalahkan Bangkok, Hong Kong, Chiang Mai, dan Kyoto. Tetapi hal itu juga membawa konsekuensi berat untuk menata kondisi yang ada, seperti kesemrawutan yang terjadi di mana-mana," kata Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati di Puri Ubud, Sabtu (30/1) malam.
Cok Ace --panggilan akrab Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati-- mengungkapkan hal itu usai menerima plakat penghargaan tersebut, baik selaku Bupati Gianyar, tokoh keluarga Puri Ubud, selaku Ketua PHRI Bali, maupun atas nama Ubud Hotels Association.
Penghargaan tersebut sedianya diserahkan langsung oleh Chris Mitchell, wakil presiden dan penerbit Conde Nast Traveler. Namun karena berhalangan hadir, kemudian diwakilkan kepada All Purwa, perwakilan dari Bali Tourism Board.
Mitchell, dalam pesannya menyatakan terima kasih kepada wisatawan yang telah berkunjung dan memilih Ubud sebagai kota terbaik. Kriteria pilihan yang memberikan nilai tertinggi adalah keramahtamahan masyarakat Ubud, selain aspek atmosfir atau suasana, budaya/situs, akomodasi, restoran, dan tempat berbelanja.
Cok Ace mengatakan, hal mendesak yang perlu segera ditangani terutama kesemrawutan arus lalulintas, parkir di perkotaan, pasar, penataan dan pengamanan kawasan pantai serta daerah aliran sungai Pakerisan.
Hal tersebut disampaikan Cok Ace, setelah Pande Suteja Neka selaku perwakilan masyarakat Ubud, mengatakan bahwa dari apa yang dilihat dan dialaminya sejak tahun 1966, kini kondisi Ubud semakin semrawut, sehingga perlu segera dibenahi melalui penataan yang serasi dengan lingkungan.
"Saya ingin menegaskan, bahwa pendapat ini bukan berarti tidak setuju dengan pemberian penghargaan itu. Saya berpikir, kalau kita bisa mengatasi kesemrawutan yang terjadi hingga menjadi lebih baik dan serasi dengan lingkungan kampung seni ini, tidak mustahil Ubud akan mendapat penghargaan sebagai kota terbaik sedunia," ucap pemilik dan pengelola Museum Seni Neka itu.
Cok Ace menjelaskan, penataan Ubud yang menjadi jantung seninya Bali, dengan mengandalkan seni budaya dan keindahan lingkungan alam sebagai daya tarik wisata, juga telah mendapat kesepatakan dengan Pemerintah Provinsi Bali.
Demi menjaga dan melestarikan potensi kepariwisataan Ubud, penataan kampung seni itu, termasuk upaya pengendalian bangunan sarana pendukung pariwisata agar tidak terus merambah persawahan yang asri, juga menjadi perhatian pemerintah provinsi. "Masyarakat bersama pemerintah akan terus menjaga potensi pariwisata Ubud agar bisa lestari, termasuk upaya pengembangan seni budaya yang kini bisa terus semarak. Malam ini saja, sedikitnya ada delapan lokasi panggung seni budaya," tambahnya.
Mario Blanco, putra maestro pelukis almarhum Antonio Blanco, berharap kampung seni itu akan bisa setara dengan Prancis sebagai pusat seni dunia. "Pusat seni dunia sejak dulu berkiblat ke Prancis. Kini saatnya kita bersama-sama mewujudkan Ubud agar juga bisa menjadi pusat seni dunia," kata Mario, yang mengembangkan Museum Antonio Blanco di Ubud.
Penyerahan plakat penghargaan kota terbaik se-Asia, mengalahkan Bangkok yang mendapat skor 82,2, Hongkong (81,3), Chiang Mai (80,9), dan Kyoto (80,2) itu, dihadiri berbagai kalangan, termasuk para ekspatriat asal berbagai negara yang tinggal di sekitar UbudS
0 komentar:
Post a Comment