Masih ingat Inu Kencana Syafii? Sosok sederhana ini berkali-kali lantang membongkar kebobrokan di tempatnya mengajar, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang dahulu bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Aksinya membongkar aib di IPDN dimulai sekitar tahun 2003 lalu. Terakhir, dia juga ikut menguak misteri kematian praja IPDN, Cliff Muntu pada April 2007 silam.
Aksinya yang vokal dalam menyuarakan kebenaran di kampus para calon pamong praja tersebut ternyata berdampak buruk pada karirnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Setelah kasus Cliff Muntu mencuat, Inu disingkirkan dari IPDN. Dia kemudian dimutasi ke Depdagri dan tak mengajar lagi di IPDN. Akhirnya, Inu pun mundur dari pekerjaannya itu, tanpa mendapat uang pensiun.
Tiga tahun menghilang, pria kelahiran Kota Nagari Simalanggang Provinsi Sumatera Barat ini ternyata mengaku sempat merasa terpuruk.
Dia kehilangan pekerjaannya sebagai dosen sehingga hanya mengandalkan honor ceramah untuk membiayai hidup keluarganya. Dalam tiga tahun itu, Inu pun sempat beberapa kali melamar ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
“Hidup saya sempat sulit setelah dipecat dari IPDN. Saya sama sekali tidak mempunyai gaji, tidak mempunyai penghasilan tetap. Selama itu, saya mengandalkan honor sebagai penceramah untuk menutupi biaya hidup keluarga saya. Itu pun kadang-kadang gratis. Tapi semua cobaan itu saya jalani. Bertahun-tahun saya menjadi penceramah,” kata Inu kepada okezone, Rabu 4 Agustus malam.
Inu mengatakan, pemecatan dirinya dari IPDN memang terkait kasus kematian seorang praja Cliff Muntu yang tidak wajar. Begitu kasus Cliff Muntu muncul, lanjut dia, pihak IPDN sudah siap memecatnya dengan cara memberikan jabatan struktural yang rendah. Anehnya, setelah menjabat, Inu mengaku diharuskan pensiun.
“Begitu saya masuk di jabatan itu harus pensiun. Padahal untuk fungsional saya pensiun umur 65. Saya pun pensiun tanpa mendapat uang pensiun sepeser pun. Nol. Dulu gaji saya Rp4 juta. Begitu pensiun, saya sama sekali tidak mempunyai penghasilan. Saya hancur-hancuran,” kata pria kelahiran 14 Juni 1952 ini.
Beruntung, kata Inu, seorang pengurus salah satu partai politik berbaik hati memberikannya rumah kontrakkan di perumahan Permata Biru Cibiru. Seluruh biaya kontrakkan, ditanggung oleh pengurus partai tersebut. Sampai saat ini, Inu dan keluarganya masih tinggal di kawasan Cibiru.
“Selama 3 tahun itu saya tinggal di Permata biru. Awalnya, saya dua kali ikut parpol yang Islam dengan tujuan syariat Islam. Tapi sebelumnya, pengurus salah satu partai memberikan rumah kontrakkan, ujarnya.
Dia bilang, “Pak Inu biar saya kontrakkan rumah di Cibiru. Akhirnya saya tinggal di rumah tersebut sampai sekarang,” terang bapak 3 anak dan satu cucu itu. [okezone.com]
.
0 komentar:
Post a Comment