Menikah bukan sekadar urusan menyatukan dua manusia yang saling mencinta. Ada makna yang lebih luas lagi, seperti kemauan berbagi beban hidup dan menyatukan dua atau lebih keluarga. Di Desa Pengotan, Kabupaten Bangli, Bali, kedua makna pernikahan itu lebih kental terasa.
Tradisi pernikahan di Desa Pengotan memiliki dua keunikan. Pertama, pernikahan hanya boleh dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun berdasarkan kalender Hindu. Pernikahan dilakukan pada sasih kapat (bulan keempat) dan sasih kedasa (bulan kesepuluh) atau dalam kalender Masehi sekitar bulan September-Oktober dan Februari-Maret.
Kedua, karena hanya berlangsung dua kali dalam satu tahun, pernikahan selalu dilaksanakan secara massal. Dalam satu kali upacara pernikahan, bisa ada 70 pasang atau sedikitnya hanya 5 pasang pengantin.
Oleh karena itu, setiap kali ada upacara pernikahan massal, suasana di Desa Pengotan mendadak ramai, seperti yang terjadi hari Jumat (18/2/2011) siang. Warga dari luar desa juga berbondong-bondong ingin melihat keunikan pernikahan itu.
Pernikahan pada siang itu melibatkan 20 pasang pengantin yang merupakan penduduk asli Desa Pengotan. ”Sebenarnya orang dari daerah lain atau kepercayaan lain yang menikah dengan penduduk Desa Pengotan boleh menikah dengan tradisi ini,” kata tokoh Desa Pengotan, Wayan Kopok.
Rangkaian upacara pernikahan itu total berlangsung selama enam hari. Tiga hari sebelum upacara puncak pada Jumat siang itu, setiap pasang pengantin menghaturkan canang sedah berupa sesaji kepada pemimpin adat desa. Ritual itu menyimbolkan kesungguhan pengantin yang akan melakukan pernikahan.
Setelah upacara pernikahan berlangsung, pengantin pria dan perempuan masih melakukan ritual pebratan. Selama tiga hari setelah pernikahan, setiap pengantin tidak boleh keluar dari pekarangan rumah. Mereka pun memanfaatkan waktu untuk menerima tamu yang ingin mengucapkan selamat.
Ritual puncak
Pada hari puncak pernikahan, sekitar pukul 10.00 Wita, Pura Penataran Agung Pengotan yang menjadi tempat pusat kegiatan acara pernikahan mulai ramai. Para peduluan atau petugas pura mulai menata sesaji.
Sapi merupakan persembahan pokok dalam upacara itu. ”Dulu setiap pasang pengantin wajib menyerahkan satu ekor sapi. Sekarang cukup satu ekor sapi untuk semua pasangan,” kata Kopok. Perubahan itu dilakukan supaya tidak memberatkan pengantin. Jika satu ekor sapi Rp 4 juta, maka setiap pasangan hanya membayar sekitar Rp 200.000.
Selain sapi, ada pula sesaji lain yang disiapkan, seperti nasi, daging ayam, dan buah-buahan. Semua sesaji itu sudah harus tertata rapi sebelum para pengantin dipanggil masuk ke dalam pura. Setiap pasangan yang memakai baju adat berupa kain songket khas Bali diarak satu per satu menuju ke pura.
Di luar pura, para pengantin mengikuti ritual pembersihan diri atau pebiak kalan. Pembersihan diri juga dilakukan di dalam pura oleh para pendeta dan sekaligus menjadi ritual inti pernikahan massal ini.
Pura tampak penuh sesak selama prosesi pernikahan berlangsung. Siapa pun yang ingin menyaksikan pernikahan ini harus memakai pakaian adat Bali. Pria memakai kain kamben dan udeng, sementara kaum perempuan memakai kain kamben dan kebaya. Perempuan yang sedang datang bulan tidak boleh masuk pura.
Sebelum pulang ke rumah, para pengantin harus melakukan ritual di setiap pura di desa itu yang berjumlah 13 pura. Para pengantin pun tampak hilir mudik berjalan kaki di jalan desa dengan diantar anggota keluarga mereka. Proses itu membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
Sesampainya di rumah adat, setiap pasangan pengantin saling menyuapi makanan sebagai simbol untuk saling menghidupi. Prosesi itu diiringi kidung berbahasa Bali yang dinyanyikan tetua desa.
”Setelah pebratan selesai, kami akan pindah ke rumah kami sendiri,” kata salah seorang pengantin pria, Wayan Dayuh (36). Prosesi pernikahan dan pebratan itu berlangsung di rumah adat. Di Desa Pengotan, permukiman warga mirip sistem kluster. Setiap kluster yang terdiri dari beberapa unit rumah dihuni oleh satu keluarga besar dan di dalamnya terdapat satu rumah adat.
Kearifan lokal
Salah seorang warga Desa Pengotan, Made Paksa (36), menjalani ritual pernikahan massal itu pada tahun 1989 bersama empat pasang pengantin lainnya. ”Hampir semua prosesi upacara nikah masih asli, sampai sekarang tidak banyak berubah,” katanya.
Para pemimpin di desa itu pun berusaha keras melestarikan tradisi satu-satunya di Bali ini karena pernikahan massal ini mengandung nilai-nilai yang positif. Salah satunya adalah pemberian denda bagi pengantin perempuan yang hamil di luar pernikahan. Mereka akan didenda Rp 40.000 per bulan hingga pernikahan massal itu berlangsung.
Sanksi adat berupa denda juga berlaku bagi warga Desa Pengotan yang menikah dengan tradisi lain. Sanksi itu akan ditentukan oleh para pemimpin desa.
Meski unik, pemimpin desa tidak berambisi menjadikan ritual ini sebagai daya tarik wisata utama. ”Yang penting tradisi ini tetap bertahan,” kata Kopok.
Bagi Desa Pengotan yang dihuni 699 keluarga dan sebagian besar di antaranya bekerja sebagai petani, pernikahan massal itu cukup meringankan beban warga. Keluarga setiap pasangan pengantin pun menjadi lebih akrab karena banyak hal yang ditanggung bersama. Kearifan lokal itulah yang perlu dilestarikan. (kompas.com)
sumber
0 komentar:
Post a Comment